30 Agustus 2008

TEOLOGI PENDIDIKAN

Ahmad Baedowi

"Ibuku, perpustakaan pertamaku." Pesan simpatik iklan layanan masyarakat ini terpampang cukup besar di depan Gedung Perpustakaan Nasional, Salemba, namun terimpit papan dan spanduk reklame lain sehingga masyarakat, terutama kaum ibu, mungkin tak sempat membacanya. Edu bertanya kemudian, "Jika ibu merupakan perpustakaan dan orang pertama yang mengenalkan kita bagaimana caranya membaca, siapakah kemudian orang kedua, ketiga, dan seterusnya?" Orang kedua seharusnya guru dan lingkungan sekolah, orang ketiga adalah keluarga, sedangkan keempat dan seterusnya adalah lingkungan secara umum. Kondisi ideal seperti ini tampaknya masih merupakan angan-angan, jauh lubuk dari pakam.

Harus diakui buku masih merupakan sumber dominan pengetahuan untuk ditimbun dan dipelajari selain media lainnya. Bukulah tempat seseorang dapat mengubah pandangannya tentang dunia dan dirinya sendiri. Henry David Thoreau bilang ''Books are the treasured wealth of the world and the fit inheritance of generations and nations.'' Begitu pentingnya peran sebuah buku, maka di dalam Islam, misalnya, kewajiban membaca itu menjadi perhatian dan pertanda utama kerasulan Muhammad. Bagi Edu, penghargaan terhadap keutamaan membaca ini seharusnya dibaca umat Islam sebagai sebuah kewajiban. Tetapi jika membaca sudah menjadi kewajiban, mengapa kita tak merasa berdosa ketika mengetahui minimnya minat baca di kalangan guru dan siswa? Mungkinkah karena kewajiban membaca tidak termasuk dalam kategori teologis dan hukum Islam sehingga kita enggan menghukum orang yang tidak dan malas membaca? Edu galau dan berkeringat dingin membayangkan jawaban-jawaban pertanyaan ini.

Kegalauan dan kecemasan Edu sangat beralasan bila melihat data yang menunjukkan rendahnya minat baca bangsa Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2006 menunjukkan bahwa masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton TV (85,9%) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%). Data lain misalnya datang dari International Association for Evaluation of Educational (IAE). Tahun 1992, IAE melakukan riset tentang kemampuan membaca murid-murid sekolah dasar (SD) kelas IV pada 30 negara di dunia. Kesimpulan dari riset tersebut menyebutkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-29. Angka-angka itu menggambarkan betapa rendahnya minat baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak SD.

Jika pepatah yang mengatakan 'guru kencing berdiri, murid kencing berlari' kita jadikan rujukan tentang rendahnya minat baca kita, rendahnya minat baca murid mengindikasikan rendahnya minat baca para guru. Dari riset selama proses training guru di Aceh, Bandung, Medan, dan Surabaya yang dilakukan INSEP selama tahun 2005-2007 di hampir 80 sekolah terlihat bahwa kemampuan membaca guru sangat minim, yaitu 79% guru hanya membaca di bawah 1 jam per hari, 15% guru membaca 1-2 jam per hari, dan sisanya hanya sekitar 6% guru membaca antara 2-3 jam per hari. Ada banyak faktor yang menyebabkan kemampuan membaca siswa dan guru di Indonesia tergolong rendah, salah satunya adalah ketiadaan perpustakaan sekolah dengan buku-buku yang bermutu dan memadai. Bisa dibayangkan, bagaimana aktivitas membaca anak-anak kita tanpa perpustakaan sekolah. Sejak dulu, dalam rencana tata ruang sekolah yang akan dibangun pemerintah sekalipun, perpustakaan selalu tak mendapat tempat. Ini benar-benar nyata, ribuan sekolah tak berperpustakaan adalah bukan isapan jempol. Otoritas pendidikan kita hanya memikirkan ruang kepala sekolah, ruang guru, dan ruang belajar seadanya yang jauh dari kesan ingin menumbuhkan budaya baca di sekolah. Padahal kita tahu perpustakaan merupakan sumber belajar yang sangat penting bagi siswa dan guru.

Sebuah ironi sedang berlangsung di dunia pendidikan kita. Dalam salah satu kunjungan ke sebuah madrasah ibtidaiah di Kota Malang, Edu melihat kemegahan sebuah tulisan kaligrafi di depan pintu gerbang sekolah, bunyinya adalah 'al-'ilmu fi shuduur, la fi al-shutuur' (ilmu itu di dalam dada, bukan di dalam kertas/buku). Anehnya, madrasah tersebut tak punya perpustakaan, sehingga dalam hati Edu bertanya, bagaimana mungkin ilmu bisa masuk ke dalam dada jika yang di dalam kertas/buku saja kita tak punya.

Tidak ada komentar: