29 Oktober 2012

Urgensi Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh


Kini, beberapa komponen masyarakat mulai membicarakan lagi keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh. KKR berguna untuk mengungkap korban konflik saat GAM masih terbentuk. Pemerintah pusat pun pernah berjanji untuk membuat KKR pada 2005 silam. Saat itu pemerintah berkomitmen untuk memastikan kebenaran, keadilan dan reparasi penuh bagi korban konflik dan keluarga mereka.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memerintahkan pembentukan KKR melalui sebuah qanun. Nah, apakah Qanun KKR Aceh akan segera disahkan oleh DPRA? Hanya DPRA yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Namun DPRA jelas memiliki utang kepada masyarakat, utamanya para korban pelanggaran HAM yang ingin mencari keadilan atas apa yang mereka alami di masa lalu. 

"Hanya ada sedikit kemajuan dalam menjamin akuntabilitas atas kejahatan yang dilakukan selama konflik bersenjata di Aceh, termasuk pembunuhan di luar hukum, pemerkosaan dan kejahatan kekerasan seksual lainnya, penghilangan paksa, dan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya," kata Juru Bicara Amnesty Internasional untuk Indonesia - Timor Leste, Josef Roy Benedict.

Ditarik ke proses damai Aceh, MoU Helsinki yang antara lain menyebut tentang perlunya pembentukan KKR di Aceh, dapat dianggap mewakili suara GAM sendiri, yang kini sebagian anggotanya bertransformasi dalam organisasi politik Partai Aceh (PA). Usulan KKR di dalam RUU Pemerintah Aceh tak juga lepas dari dukungan DPRA pada 2005, dan sebagaimana kemudian kita tahu UU No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, mengatur dengan jelas tentang perintah pembentukan KKR di Aceh. Tetapi di atas semua itu, harus dipastikan bahwa tanggung jawab itu memang tidak terletak pada satu atau dua atau lebih partai, melainkan pada DPRA sebagai sebuah institusi.

Akhirnya, Rancangan Qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang selama ini menjadi inisiatif sejumlah anggota DPRA, tanggal 20 Juni 2012 disetujui menjadi usulan inisiatif DPRA yang menjadi prioritas pembahasan masa sidang 2012 ini. Rancangan Qanun KKR mengatur soal pengungkapan kebenaran, reparasi bagi korban konflik, dan rekonsiliasi.

Ketua Badan Legislasi DPRA Teungku M. Harun menyebutkan, Rancangan Qanun KKR Aceh terdiri atas 14 bab dengan 62 pasal. Rancangan Qanun KKR lahir dilatarbelakangi oleh konflik Aceh yang telah menimbulkan kerugian jiwa, harta dan benda, serta pelbagai fasilitas umum, di samping terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan tindak kejahatan kemanusiaan.

Menurut Harun, selama ini tidak ada proses hukum yang memadai terhadap pelbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, selain korban konflik tak mendapat perhatian dari pemerintah. “KKR Aceh adalah langkah signifikan untuk mengatasi kelemahan pendekatan keadilan transisi dan menguatkan proses perdamaian di Aceh,” kata Harun.

KKR tak ada urusannya dengan soal balas dendam. KKR juga bukan suatu lembaga pengadilan untuk penghukuman. Keberadaan komisi itu harus dibaca dalam kerangka bagaimana suatu pemerintahan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa. Fokus KKR lebih kepada hak korban, yang susah didapatkan melalui Pengadilan HAM, termasuk Pengadilan HAM Ad Hoc. 

KKR akan membantu menyelesaikan masalah di masa lalu dengan kredibel dan penuh perhitungan. Keberadaan KKR juga dapat mendidik publik dan dapat meningkatkan kewaspadaan umum berkaitan dengan akibat pelanggaran HAM, dan membantu mencegah pengulangannya di masa depan. 

KKR juga akan memberikan penilaian mengenai akibat pelanggaran HAM itu terhadap korban. Melalui KKR, kebenaran diharapkan dapat dikuakkan dengan cara yang adil dan transparan. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran tentang peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu.

Pembentukan KKR Aceh menemui kendala setelah Mahkamah Konstitusi mencabut UU No 27/2004 tentang KKR Nasional. Namun, kata Harun, meski UU KKR telah dianulir oleh MK, tak menyurutkan masyarakat untuk membentuk KKR di tingkat Provinsi Aceh.

Menurut Pengamat Hukum, Saifuddin Bantasyam, pembentukan KKR Aceh tak harus menunggu lahirnya UU KKR Nasional yang baru, tersebabkan UUPA sudah dengan jelas menyebutkan bahwa KKR di Aceh dibentuk dengan UU tersebut. Secara teknis, ini kemudian (harus) bermuara pada pembentukan dan kemudian pengesahan Qanun KKR. 

Intinya, bahwa KKR di Aceh tidak harus mati bersamaan dengan matinya UU tentang KKR itu. Jika pun ada pandangan yang mengaitkan dengan UU KKR Nasional, saya tetap beranggapan bahwa sebaiknya Qanun KKR disahkan saja, dan kemudian menunggu reaksi dari Kementerian Dalam Negeri terkait dengan penautan KKR Aceh dengan KKR Nasional di dalam UUPA. 

Jika Pemerintah Aceh memiliki pendapat bahwa pembentukan Qanun ini masih terganjal dasar hukum karena UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, seharusnya tidak perlu dijadikan alasan utama. Karena dengan status kekhususan, Aceh saat ini masih memiliki dasar hukum di dalam UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 229,230, 259 dan 260 yang masih berlaku sampai hari ini. Selain itu, secara nasional, beberapa tokoh nasional juga banyak yang telah mengeluarkan pendapat tentang dimungkinkannya Aceh membentuk Qanun KKR Aceh berdasarkan UUPA. 

Hal ini sebagaimana yang pernah diutarakan Prof.Jimly Asshiddiqy pada tahun 2009 lalu saat menjadi pembicara di Kampus Unsyiah. Sehingga tidak ada alasan kuat untuk menunda-nunda mewujudkan Qanun KKR Aceh.

Disarikan dari Pelbagai Sumber

Tidak ada komentar: