Oleh : Arief Daryanto* dan Hendra Saputra**
*Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis – Institut Pertanian Bogor
** PNS Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi Aceh
*Direktur Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis – Institut Pertanian Bogor
** PNS Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Provinsi Aceh
Pembangunan peternakan di Aceh memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Potensi sumber daya alam (SDM) yang mendukung, terbukanya peluang pasar baik lokal maupun impor serta budaya beternak yang turun temurun di kalangan masyarakat Aceh merupakan modal yang besar dalam mengembangkan usaha peternakan di Aceh. Potensi SDM di Aceh dapat dilihat dari ketersediaan luasan lahan perkebunan, padang penggembalaan, persawahan, dan kebun rumput yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak ruminansia.
Berdasarkan data BPS Aceh (2008) jumlah keseluruhan luasan lahan tersebut, di Provinsi aceh mencapai 1.525.578 hektar. Potensi luasan lahan itu dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan hijauan ternak dengan pola sistem integrasi ternak dengan tanaman perkebunan. Selain itu, limbah pertanian seperti jerami padi yang melimpah yang selama ini hanya dibakar oleh petani juga dapat dimanfaatkan menjadi pakan ternak.
Peluang pasar daging sapi di Aceh masih terbuka, hal ini dapat dilihat dari tingginya permintaan daging sapi terutama pada perayaan hari “meugang” dan masih dimasukkannya ternak sapi dari beberapa daerah dan bahkan diimpor dari Australia guna memenuhi kebutuhan daging di Aceh. Peluang ekspor daging sapi ke Malaysia sangat terbuka karena permintaan di Negara jiran itu cenderung meningkat. Permintaan daging sapi untuk Negara Arab Saudi yang mengharuskan adanya label halal dan hal ini sangat memungkinkan dilakukan oleh Provinsi Aceh yang dikenal sebagai salah satu wilayah dengan mayoritas penduduk muslim.
Selain terdapatnya potensi dan peluang, juga terdapat beberapa kendala dalam pengembangan peternakan sapi di Aceh. Munculnya penyakit reproduksi (seperti brucellosis) dan penyakit menular (seperti Surra, SE), bentuk usaha peternakan sebagian besar adalah peternakan rakyat atau keluarga, dan ketersediaan sapi bibit/bakalan masih rendah yang diakibatkan terjadinya pemotongan sapi betina produktif merupakan kendala dalam pengembangan peternakan terutama sapi potong di Aceh.
Potensi dan peluang yang cukup besar serta kendala dalam pembangunan peternakan sapi potong di Aceh sudah seharusnya seluruh stakeholder peternakan bergandengan tangan untuk membangun peternakan Aceh yang tangguh. Menurut penulis, menumbuhkan wirausaha peternakan Aceh yang memiliki jiwa kewirausahaan yang modern dan selalu berusaha mengikuti dinamika perubahan yang dihadapinya merupakan salah satu solusi dalam mengembangkan peternakan Aceh yang lebih tangguh ke depan. Wirausaha yang dibutuhkan untuk pengembangan peternakan Aceh adalah wirausaha peternakan yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi peternakan, memiliki jiwa kewirausahaan serta siap menghadapi kompetisi bisnis, baik pada tataran lokal, regional, nasional maupun global.
Kewirausahaan (entrepreneurship) adalah kemampuan untuk menciptakan dan menyediakan produk yang bernilai tambah (value added) dan menerapkan cara kerja yang efisien, melalui keberanian mengambil resiko, kreativitas, dan inovasi serta kemampuan manajemen untuk mencari dan membaca peluang. Menumbuhkan wirausaha peternakan yang tangguh di Aceh bukanlah hal yang mustahil dilakukan. Adanya sarjana-sarjana peternakan dan dokter hewan yang telah dilahirkan di kampus Unsyiah merupakan modal besar dalam menumbuhkan kewirausahaan peternakan. Kemampuan mereka dari sisi ilmu pengetahuan peternakan tidak perlu diragukan lagi, namun yang menjadi pertanyaan mendasar adalah bagaimana caranya mempersiapkan dan meyakinkan mereka untuk mau berwirausaha di bidang peternakan.
Menurut penulis, ada beberapa cara yang perlu dilakukan untuk menjadikan peternakan di Aceh menarik bagi wirausaha peternakan, yang disingkat menjadi “6i”. peningkatan insentif adalah “i” yang pertama. Pemerintah daerah melalui dinas teknis sapat memberikan insentif berupa subsidi bibit ternak, pakan maupun kredit. Pelaksana program Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dengan plafon kredit sebesar Rp 2.785 triliun untuk seluruh Indonesia merupakan program subsidi kredit pemerintah sehingga peternak hanya menanggung bunga sebesar 5 % saja. Pemberian kredit melalui program KUPS ini salah satunya bertujuan untuk meningkatkan penyediaan bibit sapi secara berkesinambungan sehingga permasalahan kekurangan bibit sapi dapat teratasi.
Investasi yang masuk baik dari luar maupun domestik adalah “i” yang kedua. Untuk menjadikan bidang peternakan di Aceh menjadi salah satu usaha yang akan dilirik oleh investor, berbagai stakeholders terkait haruslah saling bahu-membahu dalam menciptakan iklim yang lebih kondusif dalam berinvestasi. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar dapat merangsang investor baik swasta maupun asing dalam memanfaatkan potensi dan peluang usaha dalam bidang peternakan di Aceh, antara lain: a). memperluas dan meningkatkan basis produksi komoditas peternakan dan komoditas pendukung lainnya melalui peningkatan kualitas hasil dan perluasan skala usaha, b). pemerintahan Aceh perlu memberikan dukungan nyata untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil ternak kepada para peternak, c). stimulus ekonomi berupa peningkatan investasi pemerintah dan swasta domestik maupun investasi asing perlu dilakukan dan d). menciptakan iklim investasi yang sehat dalam mengembangkan system pengaturan perdagangan yang adil guna perkembangan dunia usaha termasuk di dalamnya jaminan keamanan dalam jangka panjang.
Infrastruktur adalah “i” yang ketiga. Penciptan iklim usaha yang kondusif tidak terlepas dari dukungan penyediaan sarana dan prasarana infrastruktur yang lebih baik seperti infrastruktur publik (jalan, RPH yang lebih bersih dan higienis, sarana prasarana produksi lainnya, air, listrik, dan infrastruktur penelitian), tersedianya akses permodalan bagi para peternak dan tak kalah pentingnya adalah penataan kelembagaan penyuluhan dalam rangka transfer teknologi kepada peternak.
Inovasi adalah “i” keempat yang sangat terkait dengan generasi muda. Bagaimana industri peternakan juga inovatif di bidang teknologi informasi. Saat ini generasi muda lagi menggandrungi dunia teknologi informasi. Bagaimana peternakan harus mampu mengadopsi kemajuan teknologi informasi? Generasi muda harus dilibatkan dalam pengembangan teknologi informasi di bidang peternakan.
Industri adalah “i” kelima. Peternakan di Aceh harus menjadi indutri yang tidak hanya berbasis raw material saja. Nilai tambah di peternakan akan tinggi di sektor hilir sehingga basis industri yang menguntungkan adalah industri hilir karena marjinnya yang besar.
Institusi adalah “i” yang terakhir. Institusi/kelembagaan peternakan menjadi suatu hal yang penting. Kelembagaan peternakan hrus dipimpin oleh seorang manajer professional. Selain itu, apabila peternak tidak berkelompok, maka posisi tawar (bargaining position) mereka akan sangat lemah. Ini juga merupakan solusi yang membuat sub sektor peternakan lebih modern dan tidak terkesan tradisional, kumuh, subsisten serta old fashion.
Kewirausahaan memiliki peran penting dalam mewujudkan daya saing peternakan yang berkelanjutan. Namun, menumbuhkan kewirausahaan dalam peternakan membutuhkan pendekatan yang holistik, komprehensif dan terintegrasi. Maka dari itu, kerjasama yang harmonis antara wirausaha di bidang bisnis, pemerintahan, akademik dan sosial merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam mewujudkan kewirausahaan dalam peternakan.
Perlu dicatat disini bahwa kahlian kewirausahaan (entrepreneurial skills) tidak hanya dimiliki oleh pengusaha semata, tetapi harus pula dimiliki oleh akademisi, birokrat, peternak dan pegiat-pegiat sosial. Dengan berkembangnya industri peternakan di Aceh, tidak tertutup kemungkinan citra Aceh sebagai “lumbung ternak” akan kembali bersinar.
Sumber : Harian Aceh, Desember 2009