Pengangguran semakin membengkak pada tahun 2003 ini. Ada 43 juta lebih usia pekerja produktif menganggur akibat ketidakmampuan pendidikan menghantarkan manusia menjadi mandiri dan berkualitas. Tantangannya, bagaimana menciptakan tenaga kerja terbaik. Untuk itu perlu terobosan secara revolusioner cara belajar yang efektif.
Selama ini, sekolah cenderung identik dengan kewajiban belajar. Akibatnya, banyak siswa merasa gagal, karena sistem sekolah dianggap membosankan dan melelahkan. Sistem belajar yang disampaikan oleh guru cenderung menakutkan, membuat siswa stress.
Jalan keluarnya, tawaran belajar yang menyenangkan dan mengasyikkan menjadi penting. Kenapa? Agar sistem pembelajaran mampu melakukan perubahan-perubahan berkualitas yang sejalan dengan dinamika masa depan yang tambah kompleks. Persaingan globalisasi membutuhkan aktor-aktor berkualitas.
Kualitas lulusan yang telah dihasilkan oleh sekolah-sekolah di Indonesia, telah sewajarnya menjadi keprihatinan kita bersama. Kewajiban anak-anak menempuh wajib belajar 9 tahun seyogyanya perlu didasari oleh visi bersama yang mengacu pada kualitas anak didik handal, mampu, mandiri dan kreatif. Sayangnya, cita-cita ini hanya memperoleh sedikit perhatian dari pemerintah dan masyarakat.
Keinginan untuk menciptakan sekolah unggul hanya pada tataran ide. Yang ada, terkesan asal-asalan, bahkan terbaca, pihak penyelenggara membiarkan kondisi sarana dan prasarana pendidikan sangat minim dari memadai dan dari berstandar mutu. Sikap bias ini begitu nampak dari alokasi anggaran untuk pendidikan di setiap daerah berkisar 5 – 10 % yang berorientasi pada pembangunan gedung semata.
Panggilan otonomi daerah seakan tidak mampu mengilhami perubahan significant menuju perbaikan kualitas pendidikan. Sedangkan pendidikan berbasis otonomi daerah yang digagas guna memenuhi standar kebutuhan sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan lokal, tidak menyentuh realitas di lapangan. Ketidak-tepatan ini berdampak pada anak didik akan terbawa arus stagnasi.
Penghapusan sebagian pelajaran tidak serta merta mendapat pelajaran yang berbasis daerah, akibatnya, anak didik mengalami kemandegan dalam memahami kurikulum lokal yang dicanangkan. Aplikasi kurikulum lokal, yang idealnya menjadi kekhasan setiap daerah dengan aneka macam kekayaan alam, tak mampu diberikan pada siswa yang membutuhkan. Kurangnya perhatian penguasa daerah pada proses pencerahan pendidikan model ini nyata didepan mata.
Dengan kondisi yang serba tak menentu, serta ketidakperdulian penguasa pada rakyatnya maka perlu kecerdasan untuk mengambil langkah belajar secara revolusioner. Jika tidak, keadaan seperti saat ini takkan bisa mengentaskan Indonesia dari jurang kemiskinan. Banyak orang berjalan dan juga terbang. Sebagian lain kita menyaksikan kehidupan yang sedemikian susah dan terampas hak-hak hidup untuk kepentingan kapitalisme. Sebagian manusia tunduk pada sistem yang mengeksploitasi kehidupan dasar dan kepribadiannya semata untuk kepentingan material. Cara belajar yang memungkinkan bisa keluar dari lingkaran kapitalisme adalah belajar secara revolusioner yaitu belajar secara mengasyikkan dan menyenangkan sepanjang hidup manusia tanpa terikat oleh sistem yang memenjarakan kebebasan dengan peraturan yang mesti dipenuhi.
Konsep belajar cara revolusi akan efektif apabila anak mengalami pembebasan dalam menuangkan ide dan mengeksplorasi pikirannya. Belajar secara revolusioner adalah menjungkir-balikkan keyakinan yang telah membelenggu pikiran manusia tentang belajar yang harus di dalam kelas dan mendengarkan keterangan yang diberikan oleh guru. Belajar revolusioner memberikan ruang kepada setiap anak untuk belajar secara kreatif sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.Untuk membantu belajar revolusioner, metode emasipatoris sangat cocok menentukan tindakan dan fikiran yang diyakininya. Guru berperan sebagai fasilitator dan teman berdiskusi secara sepadan tanpa menakutkan bagi anak didik. Seluruh alam menjadi media pembelajaran efektif dengan menjadikan dunia sebagai kelas. Dengan demikian akan mampu menciptakan kreasi baru setiap saat. Modifikasi dari hal-hal yang lama adalah mutlak diperankan oleh anak untuk terus memodifikasi karya-karya baru. Pelajaran tidak terfokus dalam sistem kelas dari jam 09.00-15.00 setiap senin sampai sabtu, namun berubah sesuai dengan kemampuan anak yang berbeda-beda. Setiap manusia punya keunikan untuk menentukan kapan dan berapa lama ia belajar. Bagi usia anak-anak belajar dengan cara bermain sungguh mengasyikkan. Mereka akan kreatif dengan latihan-latihan yang tidak pernah gagal.
Kompetensi merupakan suatu yang penting dalam menghadapi era pasar bebas, manusia dituntut untuk mampu secara arif menekuni bidang kemampuan yang menghasilkan karya nyata dan laku dijual di pasar. Untuk menuju perbaikan mutu dan kualitas anak didik itulah diperlukan keseriusan yang gigih dan kebesaran hati. Sikap setengah hati akan membawa pada keadaan ragu akan kemampuan diri, sebaliknya komitmen yang tinggi akan memacu meraih harapan yang nyata. Secara umum hal itu dapat ditempuh dengan belajar untuk menghasilkan out-put seperti yang diinginkan. Pikiran yang berkembang baik, gairah belajar yang tinggi dan kemampuan memadukan pengetahuan dan kerja adalah kunci-kunci baru membuka pintu masa depan.
Ada empat gaya belajar yang dikemukan oleh Anthony Gregore seorang profesor kurikulum instruksi di Universitas Connecticut yaitu; pertama, sekuensial konkrit yaitu mengutamakan realitas sebagai objek untuk memandang sesuatu. Kedua, acak konkrit yaitu kecenderungan belajar dengan cara bereksprimen. Ketiga, acak abstrak yaitu gaya belajar yang cenderung memandang dunia dengan perasaan dan emosi untuk merefleksikan dan menemukan fikiran baru dari hasil perenungannya. Keempat sekuensial abstrak yaitu gaya belajar yang tidak beraturan dan cenderung mengikuti situasi yang ada, untuk itu perlu mempelajari logika untuk menggali kemampuan yang terpendam.
Dari keempat gaya belajar tersebut diatas maka setiap anak didik memunyai kecenderungan yang unik dalam memaksimalkan kemampuan yang dimiliki. Semakin kreatif seseorang dalam mencipta, maka belajar cara revolusi menjadi alternatif model pertimbangan. Terlebih pada situasi pasar global yang menuntut cepat dalam mengambil keputusan dalam setiap saat. Kecerdasan bisnis untuk tetap bisa survive dengan kompetisi tiada batas antar negara memberi peluang bagi anak didik untuk mandiri dalam belajar. Pembatasan wilayah yang telah terpecahkan melalui media computer dan internet semakin menambah luas jaringan untuk membuka wawasan yang serba baru dengan kecepatan yang tinggi.
Dampak globalisasi membawa keuntungan sekaligus tantangan bagi anak didik untuk kreatif menggunakan kesempatan yang tidak diperoleh sebelumnya oleh guru yang mengajar. Kesempatan untuk mencari informasi tanpa guru sangat mungkin dalam kemajuan teknologi yang serba canggih. Teman bisa berperan sebagai guru, begitupun guru berperan sebagai teman. Anak didikpun berfungsi sebagai guru untuk orang lain dan dirinya sendiri. Di zaman yang serba canggih ini, semuanya menjadi mungkin, bukan sekedar impian kosong mewujudkannya. Jasa dan kepribadian serta penalaran merupakan hal yang dipertaruhkan dalam tuntutan masa sekarang. Menarik, bukan? (Yef)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar