13 April 2008

SEBUAH BINGKAI SYARIAT ISLAM YANG KAFFAH

Dalam perjalanan sejarah, agama memiliki dwifungsi dalam masyarakat pluralistik. Beberapa intelektual dan pemimpin agama setuju bahwa agama banyak berperan dalam mendukung perdamaian, harmoni dan peradaban. Akan tetapi, pemikir lain berpendapat bahwa agama merupakan sumber kekerasan. Pandangan terakhir ini didukung oleh banyaknya insiden kekerasan agama di seluruh dunia. Misalnya, kaum Nasrani di Amerika yang mendukung pemboman klinik aborsi dan aksi militan seperti pemboman gedung federal Oklahoma City; kaum Katolik dan Protestan yang mendukung aksi terorisme di Irlandia Utara; kaum Muslimin yang dihubungkan dengan pemboman World Trade Center di kota New York dan serangan Hamas di Timur Tengah; kaum Yahudi yang mendukung pembunuhan Perdana Menteri Yitzhak Rabin dan serangan atas Kuburan Wali di Hebron; kaum Sikh yang terlibat dalam pembunuhan Perdana Menteri India Indira Gdanhi dan Menteri Utama Punjab Beant Singh; dan kaum Buddhis Jepang yang tergabung dalam kelompok yang dituduh melakukan serangan gas syaraf di kereta bawah tanah Tokyo.

Publikasi terakhir, berbagai kasus kekerasan agama di Ruwanda, Sri Lanka, Bosnia dan Guatemala. Ilmuwan lain seperti Rene Girard (1973), Bruce Lawrence (1989) dan Regina Schwartz (1997) telah menemukan adanya hubungan antara kekerasan dan agama. Di Indonesia, sejak tahun 1996, kekerasan di bawah panji agama semakin meningkat. Di samping kekerasan agama berskala kecil, seperti di Situbondo, Jawa Timur (1996), Tasikmalaya, Jawa Barat (1996) dan Ketapang, Jakarta (1998), berbagai kekerasan agama berskala besar juga terjadi antara kaum Muslim dan Nasrani di Ambon (1999). Begitulah, agama sering dituding sebagai sumber kekerasan bagi umat manusia. Terlepas dari perdebatan apakah benar agama menjadi faktor timbulnya kerusuhan sosial politik di negeri ini, fakta telah berbicara bahwa kerusuhan sosial politik yang terjadi salah satunya disulut oleh isu agama. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengeliminir faktor agama ini sebagai sumber kekerasan.

Penerapan syariat Islam sendiri belum berlaku di seluruh lapisan masyarakat Aceh selama ini. Kalau sudah berbicara syariat Islam, sebetulnya dalam hal mengatur tingkah laku manusia harus dalam konsep hukum, jangan malah diluar itu. Mengapa demikian, karena bila sudah di luar bingkai yang ditentukan maka sangat sulit bagi kita untuk menerangkan kepada masyarakat. Seperti halnya judi dan minum minuman keras, yang jelas-jelas semua sistem hukum di dunia tidak senang dengan perbuatan tersebut. Cuma bedanya, di negara-negara tertentu penekanannya pada bidang unsurnya, hukuman dan pengawasannya, itu saja yang terlihat berbeda. Akan tetapi dalam hal lainnya bisa dikatakan sama, sebutnya.

Kita ingin menempatkan posisi syariat Islam sebagai sistem hukum di tengah-tengah sistem hukum yang ada. Sekarang Indonesia mempunyai hukum, lalu datang hukum syariat Islam, maka dimana posisi hukum syariat Islam sekarang. Menurut Hamid, dengan keadaan seperti itu telah terjadi tumpang tindih hukum. Hukum Indonesia melarang judi, berbuat mesum, mengganggu orang lain, dan lain-lainnya yang melanggar hukum yang sudah ditetapkan. Tetapi dalam hukum syariat Islam juga seperti itu, namun ada sebagian qanun yang lebih ringan hukumannya daripada hukum yang sudah ada di Indonesia.

Dengan keadaan hukum yang seperti itu orang akan lebih senang berbuat jahat. Maunya kalau hukum yang dianggap sudah ada perdanya atau undang-undangnya, lalu tidak mampu menghalangi, merintangi dan membasmi kejahatan di Indonesia. Maka sebenarnya dengan datangnya syariat islam harus lebih keras lagi penekanannya (persuasife). Terutama di pengawasan dan penghukuman yang harus betul-betul dilaksanakan, bukan malah sebaliknya atau malah menjadi lebih ringan.

Secara umum dan lebih khususnya, kita ingin menempatkan sesuatu itu harus pada tempatnya. Yakni menempatkan syariat islam sebagai sistim hukum ditengah-tengah sistim hukum yang sudah ada, dan itu tidak hanya di Aceh. Kita ingin menginformasikan di sini bahwa syariat islam bukan hukum yang perlu ditakuti. Bahkan sekarang masyarakat muslim harus mampu meyakinkan masyarakat dunia, hukum Islam itu rahmatan lila’lamin (menyenangkan orang). Begitu datang hukum Islam, begitu orang-orang merasakan kesejukan, bukan malah seperti apa yang terjadi selama ini, kalau seperti itu maka orang-

Dalam hal itu tidak mungkin kita diskusikan oleh sebab menyangkut iman. Namun kalau menyangkut hukum masih bisa didiskusikan, mana hukum yang akan kita pilih dan kemudian mari kita sepakati bersama-sama, ajaknya. Yang tergambar dan terlihat selama ini semua orang menerapkannya masih secara emosional. Dia menggambarkan seperti orang yang buka puasa, setelah ada kesempatan berbuka tidak tahu mana yang harus dimakan terlebih dahulu, karena makanan yang terhidang bermacam ragam. Dengan adanya pemahaman-pemahaman yang seperti ini, komponen-komponen masyarakat, pengambil kebijakan dan stakeholders tidak perlu emosional.

Ditingkat provinsi syariat Islam belum juga di sosialisasikan secara berkelanjutan dan terus menerus. Masih sebatas keadaan mendadak saja, sama halnya dengan razia. Misalnya, berdiri di badan jalan dengan cara memanggil-memanggil orang dianggap sebagai sosialisasi, padahal bukan seperti itu. Apa yang dilakukan tersebut merupakan razia, yang namanya sosialisasi kan dipanggil terlebih dahulu. Siapa yang keberatan dengan syariat islam baru kemudian kita sosialisasikan, jadi selama ini sosialisasinya tidak sesuai. Sebab seharusnya harus diawasi terlebih dahulu. Katakanlah café yang saat ini di mana-mana ada, baik itu di dalam kota sampai ke pelosok desa.

Namun yang disayangkan pengawasan tidak ada ditempat itu, sehingga café yang dibuat pun tidak terbuka tetapi tertutup. Lalu sambungnya, café dibuat di sudut-sudut atau di gunung-gunung kemudian datang razia ketempat itu, nah ini namanya sama saja dengan menjebak dan meracun orang. Seharusnya panggil pemilik café, berikan dulu penjelasan tentang izinnya apa, criteria, pengawasannya bagaimana, apakah diawasi oleh pemilik café, pemerintah ataupun siapa yang berwenang untuk mengawasinya. Permasalahan ada tidaknya niat baik dari pemerintah sendiri untuk menegakkan syariat islam dalam hal ini bisa saja ada dan bisa tidak, pasalnya tidak mempunyai uang.

Kita mempertanyakan berapa banyak dana yang disediakan untuk menyelesaikan persoalan syariat islam. Saya mendengar sendiri dari kejaksaan dan pengadilan, mereka mengakui tidak pernah mendapatkan pembayaran apa-apa dari pemerintah. Mereka sudah capek bekerja namun tidak ada pembayaran atau imbalannya. Selain itu, mengusut permasalahan ganja, mengawasi dan menangkap tidak ada terem-terem yang bisa dibayar pemerintah dan keungannya juga nihil. Itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius dalam penegakan syariat.

Untuk menegakkan dan menerapkan syariat Islam yang kaffah di Aceh, Pemerintah Aceh harus melakukan sosialisasi secara baik dan benar. Yaitu dengan membuat kurikulum di pendidikan secara benar agar semua masyarakat kita paham terhadap syariat Islam. Kemudian penekanan yang dilakukan tidak hanya pada sudut-sudut tertentu saja. Coba periksa kurikulum-kurikulum di sekolah-sekolah, sudahkah mendukung razia jilbab.

Pelaksanaan syariát Islam di Aceh sebetulnya bukanlah hal yang baru, karena masyarakat Aceh telah menjadikan Islam sebagai aturan yang mengatur prikehidupan sehari-hari. Namun, dalam beberapa dekade yang lalu pelaksanaan syari’at Islam secara sempurna mengalami kendala baik yang bersifat yuridis, sosiologis dan bukan politis.

Kendala yuridis, sosiologis dan bahkan politis agaknya sudah mulai mengecil dan bahkan pada keadaan tertentu dapat dihilangkan, jika kemauan kuat pemerintah dan kesadaran dunia hukum nasional meningkat. Yakni dengan pemahaman bahwa wilayah otonomi khusus NAD memiliki nilai-nilai yang khas dan kesadaran sosial filosofisnya dengan mengambil pilihan hukumnya sendiri. Ringkasnya legitimasi yuridis adalah suatu hal yang penting, tetapi jauh lebih signifikan adalah justru legitimasi sosiologis dan legitimasi filosofis yang merasuk ke dalam jiwa. Oleh karena itu, metode interpretasi nilai lokal menjadi penting diperhatikan agar tidak terjadi konflik di tengah-tengah masyarakat.

Secara sosiologis, masyarakat Aceh memiliki respon yang beragam terhadap opelaksanann syariát Islam secara kaffah. Respon yang berbeda ini pernah melahirkan aksi seperti razia zilbab terhadap perempuan –perempuan yang tidak memakai zilbab dengan sanksi penggundulan rambut dan razia shalat jumát yang dilakukan oleh kaum perempuan terhadap laki-laki yang tidak melaksanakan shalat jumát. Di samping itu pernah pula terjadi aksi pembakaran pesantren yang mengembangkan pemikiran-pemikiran yang barang kali di nilai terlalu maju, sehingga sebagian masyarakat sangat khawatir akanj merusak akidan dan pola ibadah yang dianut selama ini oleh masyarakat. Kasus di atas meruapan contoh kecil bagaimana ketegangan-ketegangan tertentu terjadi pada kehidupan masyarakat Aceh dalam kaitannya dengan pemberlakuan syariát Islam. Kejadian seperti itu, dapat membangkitkan luka lama berupa ikhtilaf yang kalau tidak diantisipasi dapat melahirkan perkara. Padahal nilai esensial dari kehadiran syariát Islam adalah rahmatan lil álamin.

Untuk menghindari konflik tingkat horizontal dalam rangka penerapan syariát Islam ini agaknya kita memerlukan metode interpretasi nilai lokal. Metode ini menggunakan kerangka sosiologis dalam pemahaman dan penafsiran teks baik al-Qurán maupun al-Hadits. Paradigma dasar metode ini adalah bahwa setiap teks al-Qurán dan al-Hadits tidak dapat dilepas dari suasana sosial masyarakat ketiak teks-teks itu muncul, karena pemberlakuan nilai-nilai al-Qurán dan al-Hadits sasarannya adalah masyarakat.

Metode ini semestinya juga dapat diterapkan dalam kerangka pelaksanaan syariát Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Di sini nilai-nilai lokal masyarakat Aceh dapat diadopsi oleh berbagai Qanun sebagai bentuk kongkrit penerjemahan syariát Islam di Aceh. Pendekatan interpretasi nilai lokal akan melahirkan bangunan pelaksanaan syariát Islam yang khas-kontekstual dan melalui pendekatan semacam ini diharapkan konflik-konflik hukum Islam pada tatanan pelaksanaan akan terakomodir dalam suatu bingkai yang terbuka dan demokratis. (Yef)

Tidak ada komentar: