13 Maret 2008

BURAMNYA SEBUAH KEPEMIMPINAN PUBLIK

Sudah lebih dua tahun damai menyelimuti Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam perjalanan hingga sekarang, Aceh telah banyak mengalami perubahan. Optimisme untuk membuka lembaran baru dan menutup rapat lembaran lama pun mulai tertanam di benak setiap masyarakat Aceh. Namun, diperingatan ulang tahun kedua ini, tersingkap jelas rasa ketidakpuasan yang didominasi masyarakat kecil; warga yang langsung terimbas konflik. Tanggal 11 Juli 2006 menjadi hari yang bersejarah bagi rakyat Indonesia khususnya bagi masyarakat Aceh, ketika secara aklamasi RUU PA disetujui dalam Sidang Paripurna DPR RI. Tentunya ada beberapa masalah krusial yang menjadi pembahasan intensif, seperti masalah judul; kewenangan; bagi hasil; parpol lokal; pilkada; peradilan HAM dan lain-lain yang memerlukan penjelasan, sehingga tidak menimbulkan tafsir yang berbeda dari semangat yang mendasarinya. Oleh karena itu hendaknya kita melihat UU-PA ini dengan pandangan yang jernih demi masa depan Aceh yang lebih baik. Sejarah perjalanan hidup masyarakat Aceh yang ditandai dengan munculnya gerakan perjuangan menuntut kemerdekaan telah membawa dampak negatif berupa jatuhnya korban yang tidak berdosa. Masyarakat Aceh hidup dalam suasana yang mencekam di bawah ancaman keamanan. Kehidupan perekonomian menjadi tidak berkembang, menyebabkan semakin terpuruknya masyarakat Aceh dalam kesengsaraan.

Ini bisa dilihat dengan maraknya beragam aksi dari masyarakat. Seperti unjuk rasa mengenai Tahanan Politik dan Narapidana Politik Aceh, demo mahasiswa yang menuntut percepatan reintegrasi, serta belasan diskusi berbagai komponen masyarakat yang menyatakan belum puas dengan perdamaian ini. Aksi tersebut, praktis kembali menimbulkan tanda tanya, apakah pondasi perdamaian yang telah terbangun ini mulai retak? Berjalan baik atau malah semakin tertatih? Lantas, ada apa dengan perdamaian ini?

Untuk menjawab hal tersebut, kita musti membuka mata lebih lebar. Keberhasilan masyarakat Aceh menggelar pilkada yang aman dan demokratis, penurunan intensitas kontak senjata yang menurun drastis, serta suasana Aceh yang semakin kondusif. Sangat patut kita syukuri sebagai salah satu keberhasilan dari spirit perdamaian yang telah kita perjuangkan selama ini. Namun kado ulang tahun yang diberikan pemerintah tidak hanya itu. penyaluran dana reintegrasi yang belum menyeluruh dan tepat sasaran, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang semakin buram. Pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil yang tidak berjalan maksimal dan tidak tepat sasaran, menjadi sebuah “hadiah” istimewa untuk Aceh terutama bagi masyarakat yang terkena langsung dampak konflik.

Tidak bisa dipungkiri, pemberdayaan ekonomi masyarakat korban konflik terutama eks kombatan yang telah turun gunung menjadi faktor utama penentu perdamaian ini dapat terus berlangsung. Seperti yang diketahui, sedikitnya 5.000 mantan kombatan GAM di seluruh Aceh telah kembali ke keluarganya. Mereka semua perlu keterampilan, modal maupun kesempatan untuk bekerja. Mereka juga manusia yang perlu makan untuk bertahan hidup. Namun apa yang telah diberikan pemerintah untuk meringankan beban mereka dirasakan sangat sedikit membantu. Maraknya teror dan tindakan kriminal yang menggunakan senjata api yang terjadi akhir-akhir ini bisa menjadi gambaran untuk menjawabnya.

Memang benar reintegrasi bukan permasalahan kecil yang bisa terselesaikan dalam waktu satu atau tiga tahun kedepan. Namun, jika perencanaan, persiapan, konsep, arah dan tujuan sebelumnya dilakukan dengan matang dan benar. Reintegrasi hanya akan menjadi sebuah pekerjaan kecil yang hanya menunggu waktu untuk bisa berhasil. Yang juga tidak bisa kita lupakan, para anak-anak korban kekejaman konflik. ini sebuah pekerjaan rumah yang besar yang tidak bisa dianggap remeh. Para generasi-generasi muda inilah yang akan menentukan perdamaian Aceh di masa yang akan datang. Tinggal bagaimana kita mendidik dan mengarahkan mereka ke jalan yang benar agar tidak menjadi generasi pendendam.

Kepemimpinan publik, dalam hal ini Gubernur Aceh mempunyai posisi khusus karena kedudukan formalnya. Tidak berujungnya permasalahan yang dihadapi bangsa kita tidak terlepas dari bagaimana kepemimpinan yang berjalan. Hal ini bisa kita lihat dari krisis multidimensi yang sejak bermula pada delapan tahun lalu hingga kini belum kunjung selesai teratasi. Belakangan, permasalahan yang menghinggapi bangsa ini justru bertambah dan semakin kompleks.

Mulai dari penanganan korban bencana tsunami di Aceh yang dinilai lamban dan sarat penyimpangan, bahkan sampai mengundang tekanan dari luar negeri sebagai donatur terbesar. Kemudian disusul dengan kebijakan pemerintah yang tidak populer, yakni pengurangan subsidi bagi beberapa kebutuhan dasar masyarakat, terutama BBM, karena persediaan devisa negara terancam defisit. Pada masa sebelumnya, pemerintah telah menjual beberapa aset vital negara kepada pemilik modal asing melalui kebijakan privatisasi. Tujuannya, sekadar mengejar target pemasukan yang ditetapkan APBN. Padahal, aset yang dijual tersebut berkenaan dengan hajat hidup masyarakat banyak, di samping juga menyangkut kepentingan besar bangsa sebagai sebuah negara.

Runtutan permasalahan di atas menggambarkan betapa duet kepemimpinan Irwandi-Nazar belum mampu berjalan secara baik. Dengan kata lain, kepemimpinan negeri ini gagal dalam "mengurus" kehidupan masyarakatnya. Setidaknya, teridentifikasi enam kegagalan yang dihadapi kepemimpinan publik kita.

Pertama, kegagalan organisasional. Kegagalan ini muncul akibat terjebaknya organisasi pemerintahan untuk tidak melakukan fungsi-fungsi yang semestinya diemban. Reformasi birokrasi kita yang menonjol adalah rumit, berbelit-belit, mempersulit yang mudah, tidak humanis, high cost, serta selalu menimbulkan ketidakpuasan. Selain itu, organisasi birokrasi di Indonesia dikenal "gemuk", namun sayangnya "miskin" fungsi. Akibatnya, beban yang ditanggung negara untuk kehidupan birokrasi sungguh amat berat. Pelayanan juga menjadi bertele-tele, karena masing-masing unit merasa berkepentingan untuk melayani.

Kedua, kegagalan analitikal. Kegagalan ini terjadi akibat dari kaku dan detailnya rancangan organisasi dari awal sampai akhir. Di samping itu, prosedur yang ada dimaknai dari segi formalistik-legalistik, serta tidak mengarah ke misi dan semangatnya. Inilah yang menempatkan praktik layanan publik pada posisi sekadar melayani kemauan prosedur dan aturan. Akibatnya, birokrasi justru lebih banyak melayani diri sendiri, dan bahkan malah minta dilayani. Padahal, posisinya adalah sebagai pelayan masyarakat.

Ketiga, dipandangnya eksekutif sebagai penentu dan bisa melakukan segalanya justru melahirkan kegagalan dalam mengemban fungsinya. Pengekangan yang terlalu ketat di masa Orde Baru, di samping juga oleh faktor budaya, membentuk karakter masyarakat feodal dan paternal. Akibatnya, masyarakat menjadi sangat bergantung kepada uluran tangan pemerintah, rendahnya profesionalitas, job deskripsi yang kabur serta rendahnya tanggung jawab. Dalam kondisi demikian, beban yang dipikul "sendiri" oleh pemimpin sangat menumpuk.

Keempat, gagalnya fungsi kepemimpinan lembaga legislatif. Hal ini karena lembaga legislatif sebagai bagian dari kepemimpinan publik tidak bisa menjalankan fungsi demokrasi secara baik. Tidak jarang, anggota legislatif sekadar memberikan pengarahan-pengarahan saja, dan kemudian rumusannya tetap dilakukan oleh eksekutif. Terlebih, para anggota Dewan menunjukkan perilaku yang memprioritaskan kepentingannya masing-masing.

Kelima, adanya tarik-menarik kepentingan juga menyebabkan lahirnya kegagalan politik. Kepentingan interest group dengan manfaat pada kelompok yang sangat terbatas, justru terakomodasi. Sementara kepentingan terbesar warga negara malah terkalahkan. Kompromi-kompromi sebagai jalan keluar bagi perbedaan pendapat, umumnya lebih mengakomodasi kepentingan terbatas ini. Dalam hal demikian, suara rakyat yang mayoritas menjadi ternegasikan.

Keenam, kegagalan yudisial. Kegagalan ini muncul sebagai akibat dari kesalahan interpretasi terhadap hukum dan konstitusi. Terbatasnya jangkauan yudisial pada bukti-bukti material dan formal, justru tidak mengarah pada keinginan publik yang sebenarnya. Selain itu, juga dipicu oleh kuatnya mafia peradilan dan intervensi aksekutif, serta kelompok kepentingan yang begitu kuat. Dengan demikian, supremasi hukum yang didambakan justru tidak terlaksana.
Keberhasilan kepemimpinan Irwandi-Nazar akan mempengaruhi Indonesia secara mendasar. Pada pundak keduanya—juga bupati/wali kota dari kalangan independen lainnya—dipertaruhkan kredibilitas dan karakter perseorangan dalam belenggu partai politik. Yang ditantang adalah partai-partai politik mapan berpikiran konservatif yang menenggelamkan individu. Apabila Irwandi-Nazar berhasil, bukan hanya lebih mudah memperjuangkan kehadiran calon independen di daerah-daerah lain, bahkan bisa jadi perubahan konstitusi dikehendaki, yakni dengan membolehkan calon independen dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.

Tentu Irwandi-Nazar punya tantangan, yakni anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang seluruhnya partai politik nasional sampai 2009. Namun, dari segi pemerintahan daerah, sebetulnya peran eksekutif lebih kuat dari legislatif (executive-heavy) yang berbeda dengan legislative-heavy di tingkat pusat. Keberhasilan Irwandi-Nazar juga berpengaruh terhadap pilihan masyarakat kepada cikal-bakal partai politik lokal yang akan dilahirkan untuk maju dalam pemilu 2009.

Separatisme, yang dulu berarti pemisahan Aceh menjadi sebuah negara, kini telah beranjak menjadi separatisme dalam bentuk ide. Ide-ide besar dipilah menjadi ide-ide kecil, lantas dilaksanakan sesegera mungkin. Lapangan otonomi luas membuka peluang bagi bentuk ide apa pun. Dari separatis ke otonomi adalah racikan baru yang dicoba dipraktekkan di Indonesia. Otonomisasi paham dan ide separatis. Hasilnya seperti apa? Mudah-mudahan bukan petaka. (yef)

Tidak ada komentar: