Rekonsiliasi memang merupakan kata kunci pembentukan KKR. Aspek ini belakangan menciptakan kontroversi mengenai peran komisi. Apa sesungguhnya rekonsiliasi itu? Kini rekonsiliasi lebih bermakna psikologi sosial-politik. Demi menjamin agar masyarakat terhindar dari kekerasan politik berkelanjutan --bahkan untuk tujuan akhir itu berarti individu, kelompok, dan negara harus menanggung ketidakadilan yang memilukan, maka pintu maaf tetap dibuka kepada pelaku. Rekonsiliasi dengan demikian adalah kesediaan memaafkan atau melupakan sejarah pahit demi penciptaan tatanan politik yang lebih baik di masa depan. Singkatnya, rekonsiliasi lebih menekankan pencapaian tujuan akhir itu daripada penuntutan pidana.
Mengutip Carlos S. Nino, penasihat kebijakan HAM Presiden Argentina Alfonsin, tentu ada konsekuensi berharga dari penghukuman --misalnya mencegah kejahatan yang sama terulang dengan menunjukkan tidak seorangpun kebal hukum, atau untuk mengonsolidasi demokrasi dengan penegakan the rule of law. ''Tetapi tuntutan pidana mungkin mempunyai beberapa keterbatasan yang harus diimbangi dengan tujuan untuk mempertahankan sistem demokrasi.... Sekali kita menyadari bahwa pelestarian sistem demokrasi merupakan syarat mutlak bagi dimungkinkannya penuntutan, maka hancurnya sistem demokrasi merupakan hal yang mendahului pelanggaran besar-besaran terhadap HAM,'' tulis Nino dalam bukunya ''The Duty to Punish Past Abuse of Human Right Put Into Context: The Case of Argentina''.
Apapun kelemahan KKR, nilai akhir stabilitas demokrasi dan perdamaian tidak pantas diabaikan. Gencatan senjata mungkin tidak akan memperbaiki semua kesalahan atau menyembuhkan semua luka, namun yang pasti dapat menyelamatkan banyak jiwa. Bila keamanan telah dicapai, ruang pertanggungjawaban justru akan berkembang dengan kesadaran kemanusiaan. Karena kerangka itulah, bagi pihak yang menolak, KKR dipandang sebagai gerakan politik untuk menyelamatkan penjahat-penjahat HAM. Sedangkan bagi mereka yang menerima, KKR dinilai sebagai penyelesaian yang realistik di tengan era transisi.
Mereka yang menolak KKR tidak sepenuhnya keliru. Mereka dapat dibenarkan berdasar tiga alasan yang cukup kuat. Pertama, hukum internasional mewajibkan negara mengadili kejahatan serius. Pengadilan HAM Inter-Amerika, antara lain, menyatakan berkali-kali bahwa amnesti tidak dapat diterima bila fungsinya hanya menyelubungi kejahatan.
Kedua, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pejabat tinggi negara kini dapat digelandang ke meja hijau. Contoh kasusnya hasil kerja peradilan ad hoc di bekas Yugoslavia dan Rwanda, usaha pendirian Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Keberhasilan penerapan ''yurisdiksi universal'' yang paling spektakuler adalah penangkapan Jenderal Pinochet di London.
Ketiga, rekonsiliasi yang ditawarkan KKR sulit diterima kalangan korban. Rekonsiliasi belum tentu menjadi penyembuh atas kepedihan yang diderita akibat kejahatan tersebut.Kalangan yang setuju KKR pun memiliki landasan kuat. Dengan mengetahui kenyataan yang sebenarnya, suatu bangsa dapat memperdebatkan secara jujur mengapa dan bagaimana kejahatan memilukan dimaksud terjadi. Pengacara HAM andal Aryeh Neier mengemukakan, identifikasi orang-orang yang bertanggungjawab sekaligus menunjukkan kejahatannya telah menjadi hukuman.
Dalam praktik riil, mengapa satu negara memilih penyelesaian masalah lalunya dengan KKR dan yang lain tidak, pada akhirnya ditentukan oleh percaturan politik, sifat proses demokratisasi itu, dan distribusi kekuasaan politik selama transisi dan sesudahnya. Pertimbangan moral dan hukum tak banyak berpengaruh. Namun, fakta berbicara bahwa di antara negeri-negeri yang menjadi demokratis sebelum 1999, tercatat hanya Yunani yang pengadilannya mampu menjatuhkan hukuman yang berarti terhadap cukup banyak pejabat otoriter. Sebagian besar negeri menjatuhkan pilihannya ke KKR.
Akan sangat berguna bagi Indonesia bila banyak pihak menyadari bahwa KKR salah satu ikhtiar melangkah ke gerbang rekonsiliasi dan penghormatan HAM. KKR, bagaimanapun, haruslah berbarengan dengan perbaikan-perbaikan sistem hukum, politik, dan militer, yang pada gilirannya mengurangi pelanggaran berat HAM ke depan. KKR, ulas praktisi hukum Todung Mulya Lubis, janganlah dilihat sebagai satu-satunya obat mujarab untuk menyembuhkan luka masa silam. (Yef)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar