Secara fitrah, masa muda merupakan jenjang kehidupan manusia yang paling optimal. Dengan kematangan jasmani, perasaaan dan akalnya, sangat wajar jika kemudian pemuda, dalam hal ini juga mahasiswa, memiliki potensi yang besar dibandingkan dengan kelompok masyarakat lainnya. Kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitar dimiliki oleh pemuda. Pemikiran kritis mereka didambakan untuk melakukan perubahan jika masyarakat terkungkung oleh tirani kezaliman dan kebodohan. Mereka juga motor penggerak kemajuan ketika masyarakat melakukan proses pembangunan. Sehingga baik buruknya keadaaan masyarakat kelak, bergantung pada kondisi pemuda dan mahasiswa saat ini.
Hampir tidak ada yang membantah, jika akhir-akhir ini kita dihadapkan pada kondisi kelembagaan mahasiswa yang mesti mendapatkan pembenahan di sana sini. Mulai dari penyelenggaraan organisasi, kesigapan penyikapan isu-isu, hingga peningkatan kualitas mahasiswa sebagai subjek perubahan.
Faktor manusia merupakan hal utama yang selayaknya mendapatkan perhatian dari kita bersama, sehingga dari terbentuknya mahasiswa yang baik dan terbina secara pemikiran, jiwa dan raganya kemudian mampu dengan baik mentransformasikan nilai-nilai kebenaran tersebut dalam ruang gerak kelembagaaan mahasiswa kita.
Namun fenomena yang hari ini terjadi masih jauh dari kondisi yang kita inginkan bersama. Boleh jadi mahasiswa kita hari ini sedang mengalami kelelahan idealisme sebagaimana yang disinyalir oleh Syahrin Harahap dalam bukunya yang berjudul Penegakan Moral Akademik di Dalam dan Di Luar kampus sehingga menjadi pragmatis, terseret arus dan kemudian terjebak di dalamnya.
Fenomena yang bisa kita lihat secara gamblang adalah matinya kelompok-kelompok diskusi di sebagian besar kalangan mahasiswa kita. Anehnya, justru yang muncul adalah kelompok-kelompok gosip. Bahkan gosip sekarang tidak lagi lakon tunggal si mahasiswi (baca:perempuan) akan tetapi juga menjangkiti si mahasiswa (baca:laki-laki). Tema-tema gosippun beragam. Misalnya saja, apa merek ponsel? apa merek bedak dan gincu?, tipe cowok/cewek idaman, artis idola, apa merek jeansmu? atau malam mingguan nongkrong di mana?. Bahkan majalah-majalah mode dan remaja menjadi dominan mengisi tas mereka ketimbang buku bacaan yang mencerdaskan. Kita menjadi bangga ketika kita memamerkan tipe HP keluaran terbaru atau merek-merek baju dan parfum terkenal. Atau sekedar memamerkan bagian-bagian tubuh hingga membentuk cetakan dan lekukan yang sebenarnya tidak pantas untuk dipamerkan.
Menjadi aktivis mahasiswa adalah sebuah pilihan sekaligus panggilan moral. Tidak semua orang mampu melakoninya, apalagi mengakhiri pilihannya tersebut dengan indah dan penuh prestasi. Menjadi aktivis kemahasiswa harus siap (secara mental) menerima kritikan. Sebab kalau tidak, mereka akan dilindas oleh kekerdilan jiwa mereka sendiri.Sudah sepatutnya kemudian jika tanggung jawab yang dilimpahkan kepada aktivis mahasiswa hari ini dilaksanakan sungguh-sungguh demi perbaikan. Sehingga benarlah kemudian jika tradisi perjuangan kita adalah demi menuju perbaikan bersama. lebih jauh, sesungguhnya secara de facto perbaikan yang akan kita perjuangkan ini merupakan tanggung jawab kita bersama.(Yef)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar