Jeritan-jeritan penderitaan kaum jelata terasa menggema akhir-akhir ini, itulah potret perjalanan sebuah negeri yang berjulukan serambi mekkah, Nanggroe Aceh Darussalam tepatnya, dimana negeri yang kekayaan alamnya melimpah ruah. Kita akan tersadar akan betapa kayanya Aceh, bayangkan saja telah dihabiskan rata-rata 17 trilyun selama 4 (empat) tahun ini untuk membangun negeri yang menderita bencana alam terbesar di dunia; gempa bumi 9,2 SR dan gelombang pasang tsunami yang meluluh lantahkan persada negeri Tjut Nyak Dhien ini. Tapi apakah kekayaan dan belanja untuk korban tsunami dan korban konflik saat ini mampu mengubah strata kehidupan rakyat Aceh?
Pertanyaan lazim dan terjawab sudah melihat carut marut negeri ini, dan yang anehnya pada pengambil keputusan negeri ini ikut larut dengan euforia menggelogoti kekayaan yang diperuntukkan untuk belanja bagi rakyatnya, entah namanya korupsi atau bayaran untuk kucuran keringat mereka dalam memperjuangkan nasib rakyat. Bapak dan Ibu kita yang telah memperjuangkan negeri ini pasti akan sangat kecewa dan marah melihat anak cucunya bertarung merebut bongkahan emas atas penderitaan rakyat.
Ilustrasi bongkahan emas tadi mengingatkan saya akan sebuah cerita loyaritas kepemimpinan China kuno yang sampai saat ini masih menjadi bahan ilustrasi untuk menilai idealisme kepemimpinan dan pejuang idealisme yang sering terdengar ilmiah dan bernilai kosa kata intelektual. Dalam cerita tersebut digambar seorang pendekar sakti yang begitu terkenal disebuah negeri dan memimpin sebuah padepokan silat atau ilmu beladiri. Pada suatu hari Pendekar tersebut dikabari oleh seorangnya muridnya sebuah legenda seekor naga raksasa yang hidup disebuah goa dan tidak pernah bisa ditaklukkan atau dikalahkan oleh semua pendekar yang pernah melawan naga itu. Maka atas desakan muridnya, sang guru dengan keyakinan luar biasa akan kemampuannya mencoba peruntungan untuk melawan naga tersebut. Pergilah sang pendekar dengan gegap gempita menuju goa tempat sang naga itu tinggal. Nah, saat sang pendekar masuk ke goa tersebut ia mendapati seekor naga kecil yang tertunduk lemah dan tak berdaya, dalam hatinya terbersit “Oh, hanya seekor naga kecil yang lemah dan tak berdaya yang hanya dengan sekali tebas pedangku sang naga itu akan menemui ajalnya”, pikirnya. Dengan membabibuta sang pendekar ini akhirnya menebas leher sang naga kecil itu dan naga itu terkapar tak bernyawa. Beberapa saat kemudian naga yang mati itu menjelma menjadi sebuah bongkahan emas besar, dengan pandangan takjud sang pendekar kemudian berniat mengambil bongkahan emas tersebut, dalam relung hatinya terbersit “oh, rupanya tidak ada apa-apanya sebuah legenda yang digambarkan bahwa kekuatan sang naga mampu mengalahkan semua pendekar yang pernah melawan naga itu”.
Akhirnya, melihat bongkahan emas besar ini terbersit keinginan sang pendekar untuk mengambil bongkahan emas itu, lalu ia bawa pulang dan ia akan menjadi orang kaya raya karena telah mendapatkan rezeki yang tak terduga dan sangat bernilai. Kemudian ketika sang pendekar mengambil emas tersebut, menjelmalah ia menjadi seekor naga kecil yang lemah tak berdaya, karena malu dan takut akan mendapat ejekan atau bisa saja ia dianggap seekor naga hinggá bisa saja dibunuh oleh murid-muridnya yang tidak percaya bahwa sang guru dan pendekar terkenal itu telah menjelma menjadi seekor naga akibat keserakahannya. Itulah Hikayat China Kuno yang berjudul “ Sang Naga Baru” yang begitu terkenal itu.
Refleksi cerita ini adalah sebuah penggambaran bagaimana sebuah nilai idealisme dan komitmen seorang pemimpin atau pengambil kebijakan dapat terjauhkan dari keserakahan dan mampu menahan diri untuk tidak masuk dalam lingkaran kekuasaan yang dianggap mampu memberikan segalanya. Sehingga idealisme seorang pemimpin dipertaruhkan, bahwa apakah ia mampu menahan diri dari berbagai godaan dunia yang mampu menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kepuasan materi dengan kekuasaan yang ia miliki, semoga pemimpin kita dijauhkan dari keserakahan dan selalu tawakkal kepada Sang Maha Pencipta
Harapan Sebuah Pakta Integritas
Tanggal 11 Maret lalu, kita telah sama-sama menyaksikan suatu proses pelantikan dan janji sumpah jabatan dalam pakta integritas pemimpin-pemimpin dalam jajaran kabinet Gubernur Irwandi-Nazar. Sebagai seorang kaum muda, saya menyambut positif gebrakan Pak Irwandi yang dengan segenap komitmennya menjaring kabinetnya dalam suatu proses fit and propert test. Proses perekrutan atau pencarian bakat dan keahlian seorang Kepala Dinas/Badan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ini hendaknya merupakan suatu titik awal kebangkitan perubahan reformasi birokrasi yang sesuai dengan visi dan misi gubernur terpilih. Sebuah tatanan reformasi birokrasi yang islami telah di mulai, kemudian bagaimana semua pemimpin terpilih kita ini mampu sebagai motor perubahan menuju reformasi birokrasi yang islami tersebut, sehingga hikayat “Sang Naga Baru” seperti yang sudah tergambarkan diatas tidak menjadi kenyataan. Karena kursi yang empuk dan jabatan besar tidak menjamin anda bisa menjadi akan menjadi pemimpin yang diibaratkan seorang khalifah, tapi bagaimana peran-peran anda mampu menjadi perpanjangan tangan bagi rakyat sebagai pengayom untuk pengabdianmu sebagai abdi Negara.
Seorang pemimpin adalah pribadi yang sangat menentukan bagi suatu umat atau bangsa. Menentukan karena dengannya sebuah Negara bisa maju atau mundur. Bila seorang pemimpin tampil lebih memihak kepada kepentingan dirinya, tidak bisa tidak rakyat pasti terlantar. Sebaliknya bila seorang pemimpin lebih berpihak kepada rakyatnya, maka keadilan pasti ia tegakkan. Keadilan adalah titik keseimbangan yang menentukan tegak tidaknya alam semesta ini. Allah swt menegakkan langit dengan keseimbangan. Pun juga segala yang ada di bumi Allah swt berikan dengan penuh keseimbangan. Padanan keseimbangan adalah keadilan, lawan katanya adalah kedzaliman.
Di dalam Al Qur’an Allah swt telah menceritakan hancurnya umat-umat terdahulu adalah karena kedzaliman pemimpinnya. Karena itu bila kita berusaha untuk memecahkan persoalan bangsa maka tidak ada jalan kecuali yang pertama kali kita perbaiki adalah pemimpinnya. Pemimpin yang korup dan dzalim bukan saja akan membawa malapetaka terhadap rakyatnya tepai lebih jauh –dan ini yang sangat kita takuti – Allah SWT akan mencabut keberkahan yang diberikan. Sungguh sangat sengsara sebuah kaum yang kehilangan keberkahan. Sebab dengan hilangnya keberkahan tidak saja fisik yang sengsara melainkan lebih dari itu, ruhani juga ikut meronta-ronta.
Pemimpin Adalah Nahkoda
Ilustrasi lain yang menggambar betapa pentingnya seorang pemimpin adalah perumpamaan yang menyebutkan bahwa pemimpin adalah nahkoda bagi sebuah kapal. Sebab Negara ibarat kapal yang didalamnya banyak penumpangnya. Para penumpang seringkali tidak tahu apa-apa. Maka selamat tidaknya sebuah kapal tergantung nahkodanya. Bila nahkodanya berusaha untuk menabrakkan kapal ke sebuah karang, tentu bisa dipastikan bahwa kapal itu akan tenggelam dan semua penumpang akan sengsara.
Ibarat kepala bagi sebuah badan, pemimpin adalah otak yang mengatur semua gerakan anggotanya. Karena itu pemimpin harus cerdas, lebih dari itu harus jujur dan adil. Tidak cukup seorang pemimpin hanya bermodal kecerdasan, sebab seringkali para pemimpin yang korup menggunakan kecerdasannya untuk menipu rakyat. Karena itu ia harus jujur dan adil, sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al Ma’idah: 8 “Berbuat adillah, karena berbuat adil itu lebih dekat kepada taqwa”.
Itulah rahasia mengapa dalam memilih seorang pemimpin, hendaklah sebuah bangsa jangan asal-asalan. Melainkan harus benar-benar selektif. Jangan asal disogok lalu berani mengorbankan kebenaran. Ingat bahwa Allah swt tidak hanya mengancam orang-orang yang berbuat dzalim, melainkan juga mengancam orang-orang yang mendukung kedzaliman tersebut, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al Mukmin : 45-46
“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka, dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras”.
Harapan untuk nakhoda baru
Kita semua berharap kepada para nakhoda baru yang telah diberikan kepercayaan oleh gubernur mampu menjalankan amanah sesuai dengan pakta integritas yang menjadi landasan dalam gerak dan langkah kepemimpinan bapak-bapak kita ini. Ingatlah, bahwa setiap suara yang kita berikan itu adalah amanah. Bila kita salah menyerahkan amanah, yang sengsara kita juga. Sebaliknya bila kita bersungguh-sungguh untuk menyerahan amanah itu kepada yang ahlinya, maka kitalah yang akan menikmatinya. Bukan saja kesejahteraan di dunia yang kita dapatkan melainkan lebih dari itu, kita akan mendapatkan pahala yang melimpah karena kita telah mendukung kebaikan.
Dari sini nampak bahwa suara rakyat adalah sangat menentukan terhadap lahirnya seorang pemimpin. Oleh sebab itu, kita sebagai rakyat hendaknya bersungguh-sungguh untuk menjadi rakyat yang baik, sebab jika tidak, kita sendiri yang rugi dan sengsara. Rasulullah saw. Bersabda: ”Bahwa seorang mu’min tidak pantas terjatuh ke lubang yang sama dua kali”. Maka cukuplah masa lalu kita jadikan pelajaran. Sekarang sudah saatnya kita mempercayai pemimpin baru kita ini, agar benar-benar mampu membawa risalah Allah. Sebab hanya dengan menegakkan ajaran Allah SWT keberkahan akan menyertai kita. (Yef)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar