Sebuah langkah populis digagas seorang Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Irwandi Yusuf. Pak Gubernur melaporkan 7 mantan bupati di Nanggroe Aceh Darussalam yang terseret kasus korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan yang menyentakkan keingintahuan publik tentang bagaimana sebuah nilai kekuasaan disalahgunakan untuk kepentingan memperkaya diri sendiri. Irwandi kembali membuat kejutan yang menghenyakkan publik dengan membawa sendiri berkas-berkas temuan korupsi ke KPK berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), cukup mengejutkan bahwa laporan kerugian Negara akibat ulah koruptor dalam jejaring kekuasaan yang ditaksir berjumlah 202 milyar.
Gerak cepat bak cowboy ini telah membuka mata public bagaimana lingkaran kekuasaan mampu menggelapkan mata pemimpin yang dalam masa kepemimpinannya begitu dielu-elukan rakyatnya, apalagi jabatan setingkat Bupati yang memimpin daerah dengan luas wilayah yang begitu besar dan pengelolaan dana bagi pembangunan yang melimpah ruah. Korupsi seakan telah menjadi trade mark pemimpin masa kini, dimana berbagai mark up proyek dan upeti proyek terserap ke kantong pribadi. Berbagai kasus korupsi yang bertebaran selama ini, tidak menjadi bahan pelajaran bagi pemimpin public dalam menjalankan pemerintahannya yang sesungguhnya merupakan amanah dari rakyat. Kasus paling hangat yang masih berbekas di ingatan kita, bagaimana seorang “Abdullah Puteh” bias terbelenggu di Penjara Sukamiskin Bandung akibat kasus mark up pembelian helicopter.
Namun, kursi empuk dan bergelimang kekuasaan telah memberikan ruang gerak yang lebih besar bagi pemimpin kita untuk melakukan perbuatan mengambil uang rakyat, lebih tragis lagi mereka seakan gelap mata melihat rakyatnya yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Pantai Barat Selatan Nanggroe Aceh Darussalam kembali menjadi bahan perbincangan karena beberapa pemimpin masa lalu mereka terjerat kasus-kasus korupsi yangh dilaporkan Pak Irwandi ke KPK. Lagipula daerah Pantai Barat Selatan Nanggroe Aceh Darussalam ini baru terembus angina surga pemekaran wilayah, sebuah dilema besar bagi para penyokong pemekaran wilayah, karena aspek penting yang terbangun di masyarakat bawah, bahwa isu pemekaran wilayah yang selama ini di hembuskan tak lebih dari memanfaatkan sumber daya Aceh yang begitu kaya akan sumber alamnya.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selama ini terkenal sebagai daerah lumbung korupsi akibat pengelolaan keuangan daerah yang tidak baik, tak mengherankan bila budaya ini seakan tumbuh dan berkembang dalam setiap pergerakan kekuasaan untuk memperkaya diri atau menunjang cost politik kekuasaan. Bumi Syariat Islam seakan luntur akibat rusaknya sendi-sendi moral pemimpin umat, yang seharusnya mampu menjadi pengayom bagi umatnya.
Kita patut mendukung sepenuhnya gerakan moral atau reformasi birokrasi dengan gebrakan yang dijalankan oleh Pak Gubernur, semoga ini menjadi pelajaran berharga bagi pemimpin kita yang ingin coba-coba merambah menggerogoti kenikmatan duniawi dengan perbuatan korupsi, karena korupsi identik dengan tikus-tikus lapar yang tidak pernah mencapai kepuasan dengan menghalalkan berbagai cara… Kita tunggu langkah selanjutnya KPK dalam menangani dugaan korupsi di Nanggroe Aceh Darussalam, sehingga langkah ini setidaknya mampu meminimalir berbagai kasus-kasus korupsi dan merupakan wujud kepedulian Pemda NAD untuk menyelamatkan uang Negara akibat perjarahan peradaban.
Kita juga berharap KPK mampu menjadi pilar guna memutus jejaring korupsi yang kian marak melanda provinsi yang berjulukan “Serambi Mekkah” ini. Karena biarkan uang-uang hasil mark up (korupsi)_tersebut dapat terserap bagi peningkatan kesejahteraan umat dan membuka lembaran baru reformasi birokrasi untuk menciptakan pemerintahan bersih di Nanggroe Aceh Darussalam… Banda Aceh, 19 Maret 2008 (Yef)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar