24 Maret 2008

TSUNAMI DAN TERORISME

SEANDAINYA gelombang tsunami yang merenggut ratusan ribu nyawa merupakan perbuatan manusia, bisa jadi Amerika akan menduga atau menuduh Ustaz Abu Bakar Baasyir berada di belakangnya. Mengapa demikian, karena harus ada tertuduh dan tersangka. Mereka yang harus dituduh dan berbuat salah tentu saja mereka yang tidak berdaya. Sebaliknya, mereka yang menuduh bisa dipastikan adalah yang berkuasa dan mengontrol seluruh sumber daya. Pengendalian atas segala sumber kekuasaan termasuk sumber daya informasi akan mampu merekayasa sebuah kebenaran. Sejarah hanya ditulis oleh jenderal-jenderal yang menang perang. Tengok saja, ihwal berbagai kritikan atas peristiwa tsunami tatkala nyaris tak terdengar adanya bantuan dari negara Islam Timur Tengah. Tidak banyak orang mengetahui bahwa selain pemerintah Saudi menyiapkan USD 30 juta, masyarakat sipil melalui yayasan-yayasan kebajikan di negeri itu sepakat menyiapkan dana sebesar 580 juta real untuk membantu korban tsunami di Asia Selatan dan Tenggara, khususnya di Indonesia.

Persoalan muncul tatkala dana-dana yayasan kebajikan yang kebetulan disimpan di negeri Paman Sam dan negeri-negeri Eropa itu sulit dicairkan. Pasalnya adalah otoritas keuangan di negeri itu memblokir dana-dana tersebut atas dasar dugaan sering digunakan untuk membiayai gerakan terorisme.

Semua orang tahu bahwa media massa kita bekerja dalam kondisi tidak bebas nilai. Banyak media cetak ataupun elektronik yang mengutip begitu saja informasi dari pihak barat. Keunggulan seorang calon presiden banyak ditentukan oleh iklan-iklan di media massa. Mereka yang mengontrol media massa melalui para owner, pemilik modal, dan lembaga-lembaga polling, akan memenangi pemilihan presiden itu.

Tak satu pun media massa di Indonesia, khususnya media elektronik, yang benar-benar mandiri, netral, apalagi berpihak pada masyarakat biasa. Pemilik media turut mewarnai gaya dan jenis pemberitaan. Ada satu-dua media cetak yang membawa dan mengusung idealisme, tetapi biasanya tak mampu bertahan dan tak berumur panjang.

Tidak heran jika negara-negara kapitalis berlomba-lomba untuk memberikan bantuan dan sumbangan kepada negara yang tertimpa bencana tsunami. Bantuan itu sebagian besar tidak gratisan melainkan berbentuk pinjaman lunak. Yang namanya pinjaman, keras atau lunak, cepat atau lambat akan menjerat leher si negara peminjam. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh negara-negara Islam kepada negeri miskin semacam Indonesia.

Gembar-gembor tentang bantuan kemanusiaan dari negeri kapitalis itu diekspose di media secara besar-besaran. Namun, seperti yang disinyalir oleh Sekjen PBB Kofi Annan, komitmen bantuan semacam itu acapkali hilang dan dilupakan tanpa ada sanksi apa pun. Kebiasaan melanggar janji tampaknya menjadi ciri negara-negara yang berwatak kapitalis kolonialis.

Tentu saja, operasi bantuan di lapangan harus ditampilkan dengan liputan besar-besaran. Operasi tersebut biasanya mengerahkan kekuatan militer, karena konon hanya militerlah organisasi yang paling efektif untuk melakukan segala jenis operasi termasuk operasi bantuan kemanusiaan. Setiap operasi militer selalu membawa dan menyimpan tujuan-tujuan spesifik. Salah satu tujuannya adalah memberi efek takut atau jera yang lazim disebut show of force. Semua kegiatan militer yang dibatasi oleh jangka waktu, jumlah dan biaya tertentu disebut operasi militer. Setiap operasi militer selalu memiliki tugas terkandung yang merupakan penjabaran dari tugas pokoknya. Dalam teori komando dan staf, tugas pokok satuan tentara merupakan rangkuman dari tugas terkandung dan tugas yang dinyatakan kembali. Sebagai mantan perwira TNI dan pernah mengecap pendidikan Sesko, saya tidak pernah percaya bahwa bantuan militer Amerika Serikat di Nanggroe Aceh Darussalam adalah murni operasi bantuan kemanusiaan.

Dalam pengertian awam, sebuah kegiatan kemanusiaan haruslah terbebas dari tujuan lain seperti politik, ekonomi, apalagi militer. Nyatanya, perlombaan membantu korban tsunami tengah terjadi dalam suasana yang sangat eksesif. Semua perusahaan besar dan perusahaan negara yang tidak pernah untung dan sarat dengan korupsi pun ramai-ramai pasang iklan dan pamer sumbangan. Iklan dan sumbangan itu secara jeli dimobilisasi oleh sebuah TV swasta yang terus-menerus menampilkan bantuan yang diberikan langsung oleh pemilik TV tersebut.

Dengan retorika politik kemanusiaan kita menyaksikan betapa santun dan penuh kasih sayang pribadi sang penyumbang. Sebuah penampilan yang berhasil dari sosok politisi yang turut bertarung dalam konvensi dan perebutan posisi sebuah partai politik besar.

Meski begitu, harus diakui bahwa tayangan televisi atas peristiwa gempa dan tsunami, khususnya di wilayah NAD, telah mengetuk hati dan nurani bangsa Indonesia. Sebuah solidaritas yang digalang secara spontan sangat membesarkan hati. Mereka yang tidak mampu memberi sumbangan berupa harta siap menjadi relawan. Menjadi relawan tanpa kemampuan spesifik, secara ikhlas digalang oleh mereka untuk mengangkat dan menguburkan jenazah. Itulah antara lain yang dilakukan oleh organisasi-organisasi dan elemen-elemen Islam, antara lain Majelis Mujahidin.

Muncul persoalan transportasi. Pada hari H plus 5 dan 6, para relawan banyak menumpuk di Halim Perdana Kusumah. Mereka sulit memperoleh tempat di pesawat, karena angkutan udara diprioritaskan untuk membawa logistik, bantuan makanan, dan obat-obatan. Saya secara pribadi menghubungi seorang menteri dan berharap bisa membantu keberangkatan relawan Majelis Mujahidin. Saya mengatakan bahwa relawan kami secara ikhlas siap mengangkat, menyolatkan, dan menguburkan jenazah tanpa bantuan alat peralatan.Saya menerima jawaban singkat dari sang menteri berupa sebuah ucapan singkat "selamat mengangkat jenazah". Saya bisa memahami betapa sibuk dan canggihnya tugas seorang menteri, terlebih dalam keadaan seperti sekarang ini. Meski demikian, saya sulit lari dari anggapan bahwa sang menteri termasuk alergi mendengar organisasi Islam semacam Majelis Mujahidin. Sikap ini layak dimaklumi karena Amir atau Ketua Majelis Mujahidin adalah Ustaz Abu Bakar Baasyir.

Saya justru tertarik menjadi anggota Majelis Mujahidin, karena pribadi para pengurusnya. Banyak di antara mereka memiliki kapasitas ilmu yang tinggi tetapi hidup dengan sederhana. Organisasi ini tidak pernah mengajukan proposal kegiatan kepada pemerintah seperti yang banyak dilakukan oleh ormas-ormas lainnya. Segala kegiatan organisasi dibiayai dari saweran atau iuran anggotanya. Selain itu, Majelis Mujahidin adalah lembaga tansiq dari semua umat Islam yang bersedia, setuju, dan sepakat berikhtiar mencapai tujuan penegakan syariat Islam. Kami juga sepakat menjaga keutuhan akidah ahlussunah wal jamaah. Dan sedapat mungkin melakukan perjuangan dengan mengikuti manhaj Rasulullah saw. seperti yang juga dilakukan oleh para mujahid dan ulama salafusshalih.

Majelis Mujahidin merupakan tansiq (aliansi) dari semua umat Islam dengan menghindari segala bentuk firqah (golongan) dan sifat-sifat ta'asub (membangga-banggakan diri dan golongannya). Kendatipun demikian, tansiq ini tetap harus diberi nama sehingga pada kongres pertama pendiriannya disepakati bernama Majelis Mujahidin.Pada kongres pertama tahun 2000 Ustaz Abu Bakar Baasyir terpilih sebagai Amir, dan terpilih lagi pada kongres kedua tahun 2003. Terpilihnya Ustaz Abu sebagai Amir menimbulkan pandangan negatif dari mereka yang terpengaruh dan terbius oleh fitnah dan propaganda Barat seakan-akan Ustaz Abu Bakar Baasyir adalah seorang teroris. Seperti kita ketahui, pada pengadilan pertama sampai ke tingkat kasasi Ustaz Abu Bakar Baasyir tidak terbukti melakukan makar maupun berencana membunuh Megawati.

Ustaz Abu hanya terbukti melakukan pelanggaran imigrasi. Sebuah pelanggaran yang sama dengan yang dilakukan oleh Casingkem yang mengganti namanya menjadi Novitasari. Bedanya Ustaz Abu divonis kasasi selama 1,5 tahun sementara Casingkem disambut Megawati di Istana Merdeka layaknya seorang pahlawan.

Ustaz Abu kemudian diadili lagi atas tekanan dan permintaan Amerika. Fakta ini dengan tegas dinyatakan oleh Fred Burks, mantan penerjemah pertemuan Bush dan Megawati di Gedung Putih, 19 September 2001. Seperti yang di muat 1 Januari 2005, Burks Gatrabercerita lebih detail bahwa tiga pekan sebelum meledak bom Bali, ada pertemuan rahasia di rumah Megawati pada 16 September 2002. Ketika Megawati menolak menyerahkan Baasyir kepada Amerika karena akan timbul instabilitas politik dan agama yang tidak akan sanggup ia tanggung, seorang agen CIA mengatakan bahwa bila Baasyir tidak diserahkan ke Amerika, situasi akan tambah sulit. Tak sampai empat pekan kemudian, bom Bali meledak.

Meski secara faktual di pengadilan, bom Bali terbukti dilakukan oleh Imam Samudera cs, sulit mencegah munculnya kecurigaan adanya rekayasa intelijen. Kita sudah punya pengalaman tatkala intelijen menyusupkan seorang agen untuk mendorong kelompok Imron melakukan perampokan dan perampasan senjata di Polsek Cicendo dan pembajakan Pesawat Woyla. Strategi pancing jaring merupakan cara yang efektif untuk mendorong kelompok Islam yang berghirah tinggi melakukan tindak kriminal sehingga tersedia cukup alasan untuk menjaring pemimpin-pemimpinnya ke dalam penjara.

Saat ini, umat Islam tertentu kembali terpojok dengan stigma dan label-label radikalisme dan terorisme. Dan ketika Ustaz Abu dizalimi dan dicap sebagai teroris, masuk akal dan bisa diterima adanya sikap khawatir dan rasa takut orang-orang tertentu untuk berhubungan dengannya. Hal ini berimbas kepada Majelis Mujahidin.

Repotnya, kebencian Amerika Serikat kepada Ustaz Abu lantas terbawa ke Nanggroe Aceh Darussalam. Informasi yang saya terima dan perlu dicek kebenarannya adalah militer Amerika meminta pemerintah RI untuk memulangkan relawan Majelis Mujahidin yang saat ini berada di Aceh.

Jika ini benar sungguh sebuah tragedi politik di tengah tragedi kemanusiaan. Sebagai organisasi resmi dan terbuka, Majelis Mujahidin tidak pernah berususan dengan negara. Secara institusi, Majelis Mujahidin tidak pernah melawan pemerintah. Jangankan menjadi teroris, menempeleng orang pun tidak pernah dilakukan oleh kader dan anggota Majelis Mujahidin. Bahwa organisasi ini memiliki tujuan penegakan Syariat Islam (PSI) di Indonesia, tidak berarti melawan pemerintah. Dalam salah satu keputusan kongresnya, Majelis Mujahidin akan memperjuangkan PSI dengan cara terbuka berupa seruan, surat, dan tawsiah kepada pemerintah. Jika itu telah dilakukan insya Allah kami terbebas dari kewajiban PSI kendati pun pemerintah tidak mau melaksanakannya.

Tragedi politik akan terjadi jika benar pemerintah menuruti keinginan tentara Amerika, yakni sebuah pengusiran kepada warga negara atas permintaan asing untuk pergi dari suatu tempat di negerinya sendiri. Apa dosa kami kepada Nanggroe Aceh Darussalam? Apa salahnya kami sebagai warga negara turut membantu sesama muslim di negeri kami sendiri atas musibah yang menimpa teman-teman kami itu? Betapa rendah dan hinanya pemerintah kita jika itu dilakukan atas tekanan pihak asing. Itu akan jadi preseden dan menjadi bukti bahwa bantuan kemanusiaan pihak asing dengan kekuatan militernya telah berhasil memaksakan kehendaknya kepada sebuah negara yang berdaulat. Semoga hal itu tidak terjadi. Wallahualam bishshawab.***

SUMBER ; Swaramuslim.net

Tidak ada komentar: