18 Maret 2008

SEBUAH CATATAN PERJALAN SYARIAT ISLAM ACEH

Kalau kita bicara hukum mungkin bukan barang baru bagi seluruh komponen. Baik itu di kalangan atas maupun untuk kaum awam sekalipun. Namun dibalik semua itu, hukum kerap kali cuma berlaku bagi umat jelata. Hal sudah menjadi santapan kita sehari-hari; bandingkan hukuman penyolong ayam dengan pencuri kerbau.

Atau kita juga bisa lihat, ketika orang yang mempunyai jabatana dan melanggar hukum malah anteng-anteng saja melanggar hukum yang sudah berlaku. Mungkin itu hanya secuil cerita kecil untuk mengular perkara hukum yang selalu berlaku bagi kaum papa yang memang tidak mempunyai kekuatan, kecuali menadahkan tangan ke atas. Berdoa kepada Yang Kuasa.

Penerapan syariat Islam sendiri belum berlaku di seluruh lapisan masyarakat Aceh selama ini. Kalau sudah berbicara syariat Islam, sebetulnya dalam hal mengatur tingkah laku manusia harus dalam konsep hukum, jangan malah diluar itu. Mengapa demikian, karena bila sudah di luar bingkai yang ditentukan maka sangat sulit bagi kita untuk menerangkan kepada masyarakat. Seperti halnya judi dan minum minuman keras, yang jelas-jelas semua sistem hukum di dunia tidak senang dengan perbuatan tersebut. Cuma bedanya, di negara-negara tertentu penekanannya pada bidang unsurnya, hukuman dan pengawasannya, itu saja yang terlihat berbeda. Akan tetapi dalam hal lainnya bisa dikatakan sama.

Kita ingin menempatkan posisi syariat Islam sebagai sistem hukum di tengah-tengah sistem hukum yang ada. Sekarang Indonesia mempunyai hukum, lalu datang hukum syariat Islam, maka dimana posisi hukum syariat Islam sekarang, dengan keadaan seperti itu telah terjadi tumpang tindih hukum. Hukum Indonesia melarang judi, berbuat mesum, mengganggu orang lain, dan lain-lainnya yang melanggar hukum yang sudah ditetapkan. Tetapi dalam hukum syariat Islam juga seperti itu, namun ada sebagian qanun yang lebih ringan hukumannya daripada hukum yang sudah ada di Indonesia.

Dengan keadaan hukum yang seperti itu orang akan lebih senang berbuat jahat. Maunya kalau hukum yang dianggap sudah ada perdanya atau undang-undangnya, lalu tidak mampu menghalangi, merintangi dan membasmi kejahatan di Indonesia. Maka sebenarnya dengan datangnya syariat islam harus lebih keras lagi penekanannya (persuasife). Terutama di pengawasan dan penghukuman yang harus betul-betul dilaksanakan, bukan malah sebaliknya atau malah menjadi lebih ringan.

Jangan bicara syariat islam dalam arti hukum sementara dia berpijak pada soal akidah. Inilah yang terjadi selama ini di Aceh yang semestinya tidak terjadi. Padahal syariat Islam itu sangat luas sekali, ada hukum di dalamnya, akidah, akhlak, dan berbagai macam hal lainnya dengan visi hukum-hukum itu sendiri sangat luas. Ketika hal tersebut dikomplain oleh masyarakat, orang sudah tidak bisa lagi menerangkan karena memang sudah diluar bingkai hukum.

Secara umum dan lebih khususnya, kita ingin menempatkan sesuatu itu harus pada tempatnya. Yakni menempatkan syariat islam sebagai sistim hukum ditengah-tengah sistim hukum yang sudah ada, dan itu tidak hanya di Aceh. Kita ingin menginformasikan di sini bahwa syariat islam bukan hukum yang perlu ditakuti. Bahkan sekarang masyarakat muslim harus mampu meyakinkan masyarakat dunia, hukum Islam itu rahmatan lila’lamin (menyenangkan orang). Begitu datang hukum Islam, begitu orang-orang merasakan kesejukan, bukan malah seperti apa yang terjadi selama ini, kalau seperti itu maka orang-orang akan menjadi takut dengan hukum Islam.

Selama ini yang terjadi penekanannya hanya pada sisi-sisi tertentu saja, seperti halnya mewajibkan pemakaian jilbab bagi kaum hawa, namun dalam hal lainnya boleh. Hamid mencontohkan daerah wajib memakai jilbab, pada saat memasuki halaman Masjid Baiturrahman Banda Aceh yang merupakan kebanggaan rakyat Aceh, namun begitu di luar sudah tidak lagi mengenakan jilbab. ”Yang begini kan menjadi lucu”. “Kita sangat mengharapkan kepada masyarakat agar memahami syariat Islam dalam porsi hukum, karena kita berbicara memang dari segi hukum”.

Dalam hal itu tidak mungkin kita diskusikan oleh sebab menyangkut iman. Namun kalau menyangkut hukum masih bisa didiskusikan, mana hukum yang akan kita pilih dan kemudian mari kita sepakati bersama-sama, ajaknya. Yang tergambar dan terlihat selama ini semua orang menerapkannya masih secara emosional. Dia menggambarkan seperti orang yang buka puasa, setelah ada kesempatan berbuka tidak tahu mana yang harus dimakan terlebih dahulu, karena makanan yang terhidang bermacam ragam. Dengan adanya pemahaman-pemahaman yang seperti ini, komponen-komponen masyarakat, pengambil kebijakan dan stakeholders tidak perlu emosional.

Mari kita rembuk bersama, mana yang berkenan, yang tidak berkenan dan mari kita selesaikan sekarang. Jadi yang penting masyarakat kita tertib, aman dan damai. Mendamaikan masyarakat, mengamankan masyarakat dan mengawasi masyarakat itu merupakan tugas hukum. Sehingga hukum itu bisa dipahami serta bisa diyakini manfaat dari hukum tersebut.

Sosialisasi Syariat
Berasal mula dari keinginan menertibkan pantai dari maksiat, tetapi yang terlihat sekarang malah arogansi atau emosional. Padahal kita tidak boleh arogan disini ada tata caranya yang tidak harus arogansi. ”Di mana bisa dibuat pengawasan di pantai-pantai, kalau memang ada pengawasan mana ada orang berbuat durjana, yang penting diawasi”. Bila ingin membangun negara yang tertib harus ketat pengawasannya, mengusir seperti itu tanpa pengawasan jelas-jelas tidak benar. Sosialisasi dulu syariat Islam di mimbar-mimbar Jumat, ke pendidikan-pendidikan, majelis-majelis taklim dan kemudian baru dilakukan razia-razia.

Ditingkat provinsi syariat Islam belum juga di sosialisasikan secara berkelanjutan dan terus menerus. Masih sebatas keadaan mendadak saja, sama halnya dengan razia. Misalnya, berdiri di badan jalan dengan cara memanggil-memanggil orang dianggap sebagai sosialisasi, padahal bukan seperti itu. Apa yang dilakukan tersebut merupakan razia, yang namanya sosialisasi kan dipanggil terlebih dahulu. Siapa yang keberatan dengan syariat islam baru kemudian kita sosialisasikan, jadi selama ini sosialisasinya tidak sesuai. Sebab seharusnya harus diawasi terlebih dahulu. Katakanlah café yang saat ini di mana-mana ada, baik itu di dalam kota sampai ke pelosok desa.

Namun yang disayangkan pengawasan tidak ada ditempat itu, sehingga café yang dibuat pun tidak terbuka tetapi tertutup. Lalu sambungnya, café dibuat di sudut-sudut atau di gunung-gunung kemudian datang razia ketempat itu, nah ini namanya sama saja dengan menjebak dan meracun orang. Seharusnya panggil pemilik café, berikan dulu penjelasan tentang izinnya apa, criteria, pengawasannya bagaimana, apakah diawasi oleh pemilik café, pemerintah ataupun siapa yang berwenang untuk mengawasinya. Permasalahan ada tidaknya niat baik dari pemerintah sendiri untuk menegakkan syariat islam dalam hal ini bisa saja ada dan bisa tidak, pasalnya tidak mempunyai uang.

Kita mempertanyakan berapa banyak dana yang disediakan untuk menyelesaikan persoalan syariat islam. Saya mendengar sendiri dari kejaksaan dan pengadilan, mereka mengakui tidak pernah mendapatkan pembayaran apa-apa dari pemerintah. Mereka sudah capek bekerja namun tidak ada pembayaran atau imbalannya. Selain itu, mengusut permasalahan ganja, mengawasi dan menangkap tidak ada terem-terem yang bisa dibayar pemerintah dan keungannya juga nihil. Itu menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius dalam penegakan syariat.

Syariat Islam dan Non Muslim
Penerapan syariat islam di Aceh dan kedudukan orang non muslim, tidak ada persoalan. Kalau tadi kita pahami syariat Islam sebagai bagian dari sistim hukum maka tidak akan ada permasalahan. Seperti ke Malaysia, kita pahami dulu sistem hukum di sana. Apa yang tidak diperbolehkan, bagaimana pengaturannya dan itu harus diikuti. Demikian juga dengan orang asing atau non muslim yang kemari, kan tidak ada pemeriksaan “bismillah” di Kartu Tanda Penduduk (KTP), misalnya kalau ada bismilah baru bisa masuk, tidak sampai demikianlah.

Di zaman Rasulullah orang senang dengan syariat Islam, namun mengapa sekarang orang non muslim tidak senang dengan syariat islam. Itu menandakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres sama kita selaku orang muslim. Mengapa kita tidak bisa menyenangkan orang non muslim, disini saja sudah menunjukkan ada hal-hal yang tidak baik.

Untuk menegakkan dan menerapkan syariat Islam yang kaffah di Aceh, Pemerintah Aceh harus melakukan sosialisasi secara baik dan benar. Yaitu dengan membuat kurikulum di pendidikan secara benar agar semua masyarakat kita paham terhadap syariat Islam. Kemudian penekanan yang dilakukan tidak hanya pada sudut-sudut tertentu saja. Coba periksa kurikulum-kurikulum di sekolah-sekolah, sudahkah mendukung razia jilbab.

Hukum hanya berlaku pada orang-orang yang lemah atau tidak mempunyai kedudukan, tetapi bagi orang yang mempunyai pengaruh hukum bahkan sama sekali impoten. Pemerintah harus lebih tegas dan serius dalam hal penegakan hukum, jangan sampai hukum bisa seenaknya dilecehkan. Orang yang bisa beragumentasi mungkin akan lolos dari jeratan hukum, namun orang yang tidak bisa beragumentasi akan menerima akibatnya. (Yef)

Tidak ada komentar: